JAM'IYYAH NURUSSA'ADAH SEKARANG TELAH BERADA BERKAH ALLAH TA'ALA BERSEMAYAM DALAM DADA, JAM'IYYAH NURUSSA'ADAH DISINI KAMI BERMUNAJAH BERKAH NUR ROSULALLAH TERPANCAR DALAM WAJAH, JAM'IYYAH NURUSSA'ADAH TERDIRI PARA REMAJA PEMUDA MENGHARAP RIDHO ALLAH TA'ALA ATAS DOSA-DOSA YANG ADA, YA ALLAH YANG MAHA AGUNG DISINI KAMI BERSIMPU SAMPAI USIAKU TAK MAMPU KARENA ALLAH TA'ALA YANG MAHA SATU

Hadiah bagi Tebakan Jitu

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada

yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para

penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang

memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang

sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar

Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu.

Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhirakhir

ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua

rahasia alam.

"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka

maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin tahu.

"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama

ini menggoda pikiranku." kata Baginda.

"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan

hamba."

"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?"

tanya Baginda.

"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit

pun perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas 'ketidakterbatasan

itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh

Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana

batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur

sesuatu yang tidak terbatas."

Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu

Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di

langit ataukah ikan-ikan di laut?"

"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.

"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah

menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda heran.

"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari

ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak

seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara

bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab

Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak

berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan

istrinya uang yang cukup banyak.

Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat

biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan

siapa pun agar lebih leluasa bergerak.

Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya

seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang

berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang

menyampaikan kuliah tentang alam barzah.




Tiba-tiba ada seorang yang datang

dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.

"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya,

tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat

penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara

membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu

berpikir sejenak kemudian ia berkata,

"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain.

Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi

dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan

takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la

merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang

duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.

Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika

masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya,

mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"

Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut

mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam

akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,

termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat

luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga

karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu

mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau

pulang kembali ke istana.

Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas

dipanggil: Setelah menghadap Bagiri

"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian

bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu.

Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"

"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas

yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu

sarat yang akan hamba ajukan."

"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.

"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."

"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu

Nawas.

"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.

"Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu

alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian.

Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila

Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di

surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."

Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.

Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya

lagi,

"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak

menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon

diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.

0 komentar: